created by
Adhe N.tawakkal
Suku To Balo, merupakan sekelompok kecil masyarakat
suku yang mendiami daerah pegunungan Bulu Pao di kabupaten Barru provinsi
Sulawesi Selatan.
Masyarakat suku To Balo memiliki keunikan tersendiri, memiliki penampilan kulit
yang tidak seperti masyarakat lain pada umumnya. Mereka memiliki kulit yang
unik, seluruh bagian tubuh, kaki, badan dan tangan penuh bercak putih, serta di
sekitar dahi juga terdapat bercak putih membentuk segitiga. Oleh karena itu lah
nama kelompok mereka dikenal sebagai To Balo, "To" berarti
"orang", sedangkan "balo" berarti "belang", jadi
kalau diartikan "to balo" berarti "orang belang".
Suku To Balo hidup sangat mengisolasi diri, di atas pegunungan. Mereka tidak
suka bertemu orang lain di luar komunitas mereka.
Suku To Balo berbicara dengan bahasa yang sama dengan bahasa Bentong tapi
dengan dialek To Balo. Oleh karena itu suku To Balo sering dianggap sebagai
bagian dari suku Bentong.
Menurut masyarakat lain di kabupaten Barru, bahwa suku To Balo ini mengasingkan
diri akibat dari perbedaan kulit mereka Sikap menjauhkan diri dari
kelompok masyarakat lain, sudah mereka jalani sejak beberapa abad yang lalu.
Pada awalnya kelompok suku To Balo ini hidup berbaur dengan masyarakat lain.
Tetapi perbedaan kulit ini membuat mereka sering menjadi ejekan yang membuat
mereka merasa sakit hati. Karena seringnya mereka mendapat perlakuan seperti
ini, maka mereka memilih untuk mencari suatu tempat yang jauh dari masyarakat
lain.
Mereka memasuki hutan pedalaman dan akhirnya menetapkan pilihan untuk menetap
dan membangun pemukiman di atas pegunungan Bulu Pao di wilayah kabupaten Barru
sekarang.
Populasi suku To Balo saat ini jauh menyusut dari sejak beberapa abad yang
lalu. Saat ini diperkirakan tinggal puluhan orang saja. Penyusutan jumlah
populasi ini diperkirakan akibat dari tradisi mereka sendiri.
Dalam tradisi suku To Balo, jumlah anggota keluarga dalam setiap keluarga
tidak boleh lebih dari 10 orang. Apabila terjadi, hadir anggota keluarga yang
ke-11, maka harus dibunuh atau dibuang ke suatu tempat yang diyakini bisa
membuat orang ke-11 ini pada akhirnya mengalami kematian.
Terdapat satu keluarga, yaitu dari keluarga Nuru bin Rien bersama satu istri,
dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, yang memiliki
sebuah gubuk di pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru
sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung,
dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga
untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti di desa
Bulo-Bulo. Mereka mendapat hasil uang yang tak seberapa. Tapi hasil ini sudah
cukup membuat mereka bahagia.
|
keluarga suku To Balo
pic: minasaa.com
|
Kelainan
yang dialami oleh suku To Balo, tidak diketahui secara pasti, sekilas
menyerupai kulit yang bekas terbakar. Tapi ini kemungkinan ini pada awalnya
terjadi kelainan gen, tetapi karena terjadi hubungan antara 2 orang yang
mengalami kelainan seperti ini, maka keturunan-keturunannya pun menuruti
memiliki kelainan seperti ini. Namun, masyarakat To Balo berkeyakinan bahwa
kelainan ini merupakan kutukan dewa. Menurt cerita, pada suatu ketika, ada satu
keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak
kawin. Keluarga itu mengusik kedua kuda yang akan kawin tersebut. Maka marahlah
dewa lantas mengutuk keluarga ini, yang mana seketika keluarga ini memiliki
kulit seperti sepasang kuda belang tersebut.
Selama ini suku To Balo melakukan perkawinan hanya dengan kalangan mereka
sendiri, sehingga keturunan-keturunan mereka pun akan menghasilkan kulit yang
seperti ini lagi. Apabila mereka melakukan kawin-campur dengan masyarakat
lain, diyakin keturunan-keturunan mereka pun akan pulih seperti manusia
berkulit normal.
Karena keterasingan suku to Balo ini, membuat mereka semakin tertinggal,
terutama pada bidang pendidikan. Anak-anak mereka tidak mendapatkan pendidikan
yang baik, sehingga banyak dari mereka yang tidak bisa membaca. Pemerintah
daerah sepertinya hanya tertarik menjadikan suku To Balo ini menjadi barang
jualan obyek wisata. Padalah menjual "kelainan" suku To Balo ini,
justru semakin melukai perasaan mereka di tengah derita yang mereka alami
selama ini. Seharusnya pemerintah daerah lebih memperhatikan hidup mereka dari
segi kualitas serta kesehatan mereka, bukan menggiring mereka menjadi sekedar
"barang jualan obyek wisata".
Kehidupan suku To Balo ini, pada umumnya adalah bercocok tanam ubi, jagung dan
kacang. Mereka juga membuat gula merah, dan hasilnya di jual di pasar Kamboti
di desa Bulo-bulo dengan berjalan kaki menempuh jarak yang jauh. Kehidupan
sumber:
·
ml.scribd.com
·
wikipedia
sumber
lain dan foto:
·
barrunews.wordpress.com
·
minasaa.com
Tak ada manusia yang bisa memilih
terlahir dari keluarga atau keturunan tertentu. Seperti juga suku “To
Balo” yang
tinggal di tempat terpencil di Pegunungan Bulu Pao, yang membentang melintasi
wilayah Kabupaten Barru dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Sejak menjejakkan kaki
ke bumi, setiap orang dari keturunan kelompok ini punya rupa kulit tak lazim:
sekujur tubuh terutama kaki, badan, dan tangan, penuh bercak putih. Sementara
tepat di tengah dahi mereka, bercak tersebut juga terpampang nyaris membentuk
segitiga. Karena itu mereka disebut kaum To Balo. Yang dalam bahasa Bugis, To
berarti manusia sedangkan Balo sama dengan belang. MANUSIA BELANG.
Perbedaan itu rupanya membuat mereka
mengasingkan diri dari kumpulan sosial sehingga tak pernah membangun koloni di
daerah yang ramai. Konon, sikap tersebut sudah mereka lakukan sejak berabad
silam saat Kerajaan Bugis masih jaya. Namun, oleh raja-raja zaman dahulu,
kelainan tersebut sempat dianggap tanda kepemilikan kesaktian yang membuat
mereka sering dipilih menjadi pengawal raja. Di tengah hiruk pikuk kemajuan
zaman, kaum To Balo seakan tenggelam ditelan kesunyian pelosok tempat tinggal
mereka. Populasi ini kini tinggal segelintir. Maklum, menurut kepercayaan
mereka, jumlah satu keluarga tak boleh lebih dari 10 orang. Jika tidak,
keluarga ke-11 dan berikutnya harus mati. Entah dibunuh langsung atau dibuang
ke suatu tempat sampai diyakini tak bernyawa. Satu di antara yang sedikit itu tersebutlah keluarga Nuru
bin Rien. Bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa
anggota keluarga, dia membangun sebuah gubuk di sebuah sudut Pegunungan Bulu
Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka
bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi, jagung, dan kacang, serta mengolah
gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok
tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti, Desa Bulo-Bulo. Dari pekerjaan ini,
mereka menerima duit yang tak seberapa. Tapi hasil itu sudah membuat senyum
mereka tersungging. Cukuplah untuk membeli persediaan ikan asin selama sepekan
dan sepasang sandal jepit yang sudah lama diidamkan Rakdak, putra sulung Nuru
yang kini duduk di kelas empat sekolah dasar. “Aku ingin jadi polisi,” kata
Rakdak dengan tatapan mata lugu ketika ditanya soal cita-citanya. Sebuah
keinginan sederhana bagi sebagian orang tapi bak bintang buat Rakdak dan
keluarganya. Betapa tidak, Rakdak tak bisa setiap hari ke sekolah karena jarak
yang harus ditempuh dari rumahnya dengan berjalan kaki sekitar tiga jam. Belum
lagi kegiatan rutinnya. Saban pulang sekolah, bocah yang kini duduk di SD
Instruksi Presiden (Inpres) Bulo-Bulo, Kecamatan Pujananting, Kabupaten
Barru, ini mesti menjaga adiknya. Kalau tidak, Rakdak menggembalakan
kuda yang diberikan pemerintah setempat beberapa waktu silam. Kalaupun bisa
belajar, dia tak memiliki peralatan yang lengkap. Pun penerangan hanya didapat
dari sinar lampu teplok. Tapi seperti ketangguhannya menaklukkan alam sekitar,
begitu pula semangat Rakdak untuk menjadi pintar. Setidaknya sampai sekarang
dia tak meninggalkan status pelajar seperti yang dijalani anak-anak Tobalo yang
akhirnya sibuk bermain dan membantu keluarga.
Kelainan yang diidap kaum To Balo
bukanlah penyakit melainkan pembawaan gen. Namun, masyarakat setempat
meyakininya sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang
menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Bukan
hanya menonton, keluarga itu juga menegur dan mengusik kelakuan kedua kuda itu.
Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang
atau balo. Ada pula kisah versi lain. Para kaum Tobelo percaya, manusia dan
kuda turun bersama dari langit saat pertama bumi diciptakan. Artinya, hewan
berkaki empat itu bersaudara dengan manusia. Nah, orang-orang yang percaya
dengan cerita ini otomatis akan berkulit belang.
Kaum To Balo bisa keluar dari masalah
kulit ini jika mereka menikah dengan orang lain yang punya gen kulit normal.
“Selama ini kebanyakan mereka kawin antarmereka saja. Padahal terbukti, jika
ada kaum To Balo yang kawin dengan orang di luar kelompoknya, sang anak akan
berkurang belangnya”. Kelihatannya, perlu ada penyuluh yang menyambangi mereka
ke dusun terpencil itu untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Agar mereka segera
keluar dari keterkungkungan yang disebabkan perasaan berbeda dari manusia lain.